Jakarta – PT Techno9 Indonesia Tbk (NINE), perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), mengumumkan rencana besar untuk mengumpulkan dana segar sebesar Rp80 miliar melalui rights issue. Dalam istilah sederhana, rights issue adalah cara perusahaan menerbitkan saham baru dan menawarkannya terlebih dahulu kepada pemegang saham lama untuk menambah modal. Dana ini akan digunakan untuk melunasi utang serta mendukung ekspansi bisnis pertambangan di Mongolia, Kamboja, dan Indonesia. Namun, rencana ini juga membawa perubahan besar pada kepemilikan saham perusahaan, yang bisa memengaruhi pemegang saham publik.
Inti Rencana Rights Issue: Tambah Saham Baru Rp37 per Lembar
NINE berencana menerbitkan hingga 2.157.000.000 saham baru, jumlah yang sama dengan 100% saham yang sudah ada saat ini. Harga setiap saham ditetapkan Rp37, sehingga total dana yang diharapkan mencapai Rp80 miliar. Rencana ini diungkapkan dalam surat tanggapan NINE kepada BEI pada 25 Maret 2025.
Dana tersebut akan dialokasikan untuk dua hal utama:
- Melunasi utang: Sekitar USD 455.000 (setara Rp7 miliar lebih, tergantung kurs) akan digunakan untuk membayar bridging loan dari Advance Opportunities Fund (AOF), sebuah pinjaman jangka pendek yang sebelumnya diambil perusahaan.
- Ekspansi bisnis tambang: Sisanya akan menjadi modal kerja untuk proyek pertambangan di Mongolia, Kamboja, dan Indonesia. Ini termasuk biaya pra-operasional seperti konsultasi dan persiapan, yang akan berlangsung sepanjang 2025.
Menurut NINE, langkah ini penting karena “pendapatan perusahaan cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir.” Dengan dana baru, mereka berharap bisa memperbaiki kinerja keuangan dan membuka peluang pertumbuhan.
Bagaimana Dana Dikumpulkan dan Siapa yang Terlibat?
Dalam rights issue, pemegang saham lama mendapat hak untuk membeli saham baru sesuai porsi kepemilikan mereka—disebut Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD). Namun, ada hal yang perlu diketahui pemegang saham pengendali saat ini memilih untuk tidak ikut membeli saham baru. Akibatnya, porsi mereka akan menyusut, dan ada pihak lain yang siap mengambil alih.
Dua nama besar muncul dalam rencana ini:
- Poh Group Pte. Ltd.: Perusahaan ini diproyeksikan menjadi pemegang saham pengendali baru setelah rights issue.
- Advance Opportunities Fund (AOF): Lembaga ini akan menjadi standby buyer alias pembeli cadangan, siap membeli saham yang tidak diambil oleh pemegang saham lain. AOF juga sudah menjadi kreditur NINE melalui bridging loan tadi.
Keputusan ini mengubah peta kepemilikan perusahaan secara drastis. “Pemegang saham pengendali tidak akan melaksanakan HMETD mereka,” tulis NINE dalam dokumen resmi, membuka jalan bagi Poh Group Pte. Ltd. untuk memimpin.
Dampak untuk Pemegang Saham Publik: Ikut atau Dilusi
Bagi pemegang saham publik—yang saat ini menguasai 22,74% saham NINE—rights issue ini adalah pilihan besar. Jika mereka ikut membeli saham baru sesuai hak mereka, porsi kepemilikan mereka tetap aman. Tapi jika tidak ikut, kepemilikan mereka bisa terdilusi hingga separuh, menjadi hanya 11,37%.
Apa itu dilusi? Bayangkan Anda punya 1 potong dari 10 potong kue (10%). Kalau kue ditambah jadi 20 potong dan Anda tidak ambil lagi, porsi Anda jadi 1 dari 20 (5%). Itulah yang terjadi pada saham Anda kalau tidak ikut rights issue.
Untuk mendorong partisipasi, NINE berjanji menyampaikan informasi secara transparan dan mungkin menawarkan harga saham di bawah nilai pasar sebagai insentif. “Kami ingin memberikan nilai menarik bagi pemegang saham,” tulis mereka.
Transaksi Komisaris Utama: Jual Saham ke AOF
Sebelum rights issue dilaksanakan, ada pergerakan lain yang patut diperhatikan. Pada 19 Maret 2025, Komisaris Utama NINE, Nofrian Fadhli, menjual 86.264.050 saham—sekitar 4% dari total saham perusahaan. Kepemilikannya turun dari 12% menjadi 8%. Saham ini dibeli oleh AOF sesuai perjanjian Conditional Share Purchase Agreement (CSPA) yang diperbarui pada 12 Maret 2025. Langkah ini merupakan bagian dari proses akuisisi yang membawa Poh Group Pte. Ltd. sebagai calon pengendali baru.
Struktur Saham Setelah Rights Issue: Dua Skenario
NINE memperkirakan dua kemungkinan setelah rights issue:
- Jika publik ikut penuh: Kepemilikan publik tetap 22,74%, tapi dari jumlah saham yang lebih besar (2 kali lipat dari sebelumnya).
- Jika publik tidak ikut: Kepemilikan publik turun jadi 11,37%, dan sisanya dikuasai Poh Group Pte. Ltd. serta AOF sebagai standby buyer.
Perusahaan menegaskan bahwa aturan BEI soal free float (saham yang bisa diperdagangkan publik) akan tetap dipatuhi, dan tidak ada waran (hak tambahan untuk beli saham di masa depan) yang diterbitkan dalam rencana ini.
Rencana ini ternyata baru langkah awal. NINE sudah menyiapkan rights issue kedua yang dijadwalkan antara kuartal keempat 2025 hingga kuartal pertama 2026. Poh Group Pte. Ltd., sebagai calon pengendali baru, berkomitmen untuk mendukung rencana ini. Tujuannya? Memperkuat ekspansi bisnis tambang lebih jauh lagi.
Mengapa Rights Issue Pertama Dilakukan?
Di balik rencana ini, ada konteks penting: pendapatan NINE stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Dengan utang yang harus dilunasi dan peluang bisnis tambang yang menjanjikan, perusahaan butuh suntikan dana segar. “Rights issue pertama ini akan berdampak langsung pada kinerja keuangan,” kata NINE.
Rights issue Rp80 miliar ini adalah langkah strategis NINE untuk keluar dari stagnasi, melunasi utang, dan mengejar peluang di sektor pertambangan. Bagi pemegang saham publik, ini saatnya memutuskan: ikut ambil bagian atau terdilusi. Sementara itu, perubahan pengendali ke Poh Group Pte. Ltd. menandai babak baru bagi perusahaan.
Sumber : Klik disini